Senin, 10 Februari 2014

Cerita Bireuen#1

Akhir January lalu, aku mengujungi Kota Bireuen untuk ke sekian kalinya. Lama sudah aku tak menginjakkan kaki di kota juang Aceh ini. Dengan memenuhi undangan dari kantor untuk mengikuti pelatihan jurnalistik. Aku beranikan diri menyusuri kota demi kota, dari Banda Aceh hingga Bireuen menggunakan sepeda motor bertiga dengan teman seperjuangan.

Ah, rasanya kota itu tak berubah. Masih ramai, bahkan semakin meriah dan ramai. Di sisi jalan banyak lampu warna-warni berkelap-kelip menghiasi jalanan. Membuat detakan jantung kota Bireuen hidup. Dentuman Azan pun, masih sangat terjaga waktunya. Hal ini, juga sama aku rasakan ketika siang itu tiba di kota Bireuen.

Rerintik gerimis, mulai membasahi kota. Hawa dingin angin mulai terasa hingga menusuk tulang. Pukul 15.15 wib, aku melaksanakan sholat dzuhur di mushalla terbuka depan pendopo Bireuen. Sebelumnya aku dan kedua temanku baru saja mengisi perut di warung nasi pinggir kota. Setelah melepas lelah enam jam mengendarai motor kami pun menuju penginapan pendopo, yang telah di sediakan panitia.

Hari terasa begitu cepat, dari Minggu menjadi Senin. Senin pagi, kami mulai bersiap mengikuti kegiatan inti workshop kepenulisan di gedung sebelah pendopo. Mengikuti materi, hingga kepala terasa penat. Dan waktu Zuhur pun tiba. Setelah menyantap makan siang dengan ala kadarnya, bersama teman-teman jurnalis. Aku dan temanku yang usianya setahun diatas ku pun, berniat untuk melaksanakan sholat zuhur di penginapan pendopo tempat menginap semalam.

Aku dan dia tergopoh-gopoh berjalan menyusuri jalan arah penginapan, ternyata kunci kamar kami dibawa oleh salah seorang panitia. "Aish, membuat waktu sholat molor lagi," fikirku.

Ku dekatkan diri ke meja resepsionis, dengan sedikit menjinjitkan kaki untuk melewatkan kepala dari meja yang besar. Dan menegur, salah seorang disana. "Bang, ada kunci duplikat kamar ujung diatas ?" ujarku dengan nafas setengah tergesa-gesa.

Ternyata lelaki yang kusapa itu, terkejut sambil mengucapkan hamdalah. Setelah itu, bukannya ia menanyakan kembali apa yang aku butuhkan. Malah, memburu aku dengan pertanyaan-pertanyaan. Ikut workshop ya? Darimana? oh, dari Banda, kapan sampai ke sini? tidur dimana semalam?, Terakhir setelah kujawab semua pertanyaannya, barulah ia menjawab pertanyaan ku. Ternyata ia tak punya kunci duplikat kamar kami.

Kami mengutarakan ingin mengerjakan sholat zuhur yang sedikit lagi hampir selesai waktunya, ia pun memberi solusi kamar tidur yang lain dan sepasang mukena. Tak hanya itu, lelaki bertubuh semampai itu pun mengantar kami ke kamar. Membersihkan tempat tidur, mengantikan sarung bantal, merapikan sepray dan membuang sampah. "Saya tinggal dulu," ia seperti tergesa-gesa dan tampak grogi. Mungkin, karena sedari tadi aku dan temanku terus memerhatikan gerak gerik dia merapikan kamar.

Kalau di fikir, kami bukan hendak istirahat. Hanya menumpang kamar mandi dan sholat. Untuk apa dia merapikan tempat tidur. Ah entahlah, aku dan temanku hanya tertawa. Tak hanya itu, aku dan temanku juga mengalami hal yang serupa lagi ketika hendak melakukan sholat ashar. 

Karena hal itu, lelaki itu menjadi perbincangan kami selama di Bireuen. Bahkan kami menamakannya 'abang tukang kunci'. Ketika waktu ashar tiba, ia menanyakan namaku, "Nama anda siapa?" ketika aku utarakan nama lengkapku dia tersenyum dan menampakkan ekspresi sedikit tertawa kecil. 

Hanya sehari aku mengenalnya, 24 jam. Tapi, aku sudah tau ia seperti apa. Walau hanya tampak luarnya saja. Dia suka menyendiri, suka tersenyum, berbicara seperlunya dan satu yang aku suka, ia kenal suara adzan, selesai adzan berkumandang dengan sigap ia mengambil wudhu dan menghadap ilahi. 

Workshop di Bireuen tak sedikitpun menggugah hati dengan kata 'Wow' tapi, aku banyak mendapat pelajaran disini. Selain berkenalan dengan orang-orang hebat, mendapat banyak teman dan kenalan juga mendapat ilmu. Untuk pertama kalinya aku berkunjung ke pendopo Bireuen, bermalam disini dan mendalami sejarah Indonesia yang tertanam jelas di Bireuen.

Bireuen salah satu kota di Aceh yang pernah menjadi Ibu kota Indonesia pada tahun 1947 selama satu minggu. Dan tempat penyiaran radio rimba raya. Bahkan tak hanya menyimpan sejarah klasik, sejarah mistik pun ada. 

Rumah depan pendopo yang berarsitektur kuno, dan bernilai sejarah tinggi itu memiliki penghuni tetap yang berdiam di kamar utama rumah yang sering di sebut kamar Soekarno. Tapi, yang berdiam disana bukan Soekarno loh. Namanya Putri Juliana, dia perempuan asal Belanda. Aku sendiri kurang tau mengenai itu, nginap dua malam di pendopo gak punya kesempatan untuk berkenalan. hehee..   

Bersambung...

4 komentar:

Unknown mengatakan...

akuu sukaa pemilihan kata-katanya, keren raa, semoga bisa berlanjut ya (hubungannya) kwkwkkwkwkwk...

Darahersavira mengatakan...

ckckckk.. silaturrahmi nya insyaallah bakal lancar ;) ckckckkk..
ini ceritaku, mana kak ceritamu ????

Unknown mengatakan...

Ceritanya menarik dan gaya bahasa yang asik untuk diikuti.

Darahersavira mengatakan...

Alhamdulillah. Terima Kasih :)

Posting Komentar