Kamis, 30 Januari 2014

TIDDAAKKK, LOGARITMA MEMBUNUHKU


“Apaaa, besok kita ulangan matematika?” kataku sambil setengah menjerit kepada lawan bicara di handphoneku. Tak sadar aku langsung menepuk dahiku. Rasanya, tak ingin hari senin  itu ada. Yang benar saja setelah kelelahan berdiri upacara rutin, baju basah berkeringat akibat teriknya matahari. Selesai dari itu, langsung masuk ke kelas dengan mata pelajaran paling menegangkan sejagat raya.
Hal yang aku cari setelah menerima telepon menegangkan dari teman sekelas tadi adalah, mencari catatan matematika Bab enam. Mengenai Logaritma. Aaarrgghhttt, sumpah seumur-umur belajar matematika ini materi yang susah banget untuk dicerna. Jangankan otak aku yang mumet, kalkulator aja minta ampun dia gak sanggup mikir dengan angka nominal yang kuketik.
Berharap untuk dapat jimat atau ilham apa, aku terus berusaha membolak-balik catatan matematika. Hingga kertas bukuku terasa makin tipis, sudah berapa kertas kucoba cari jalan tengah dari soal Logaritma dan terakhir sia-sia juga, aku harus membuat tanda silang berukuran jumbo diatas jawabanku. Ya. Jawabannya salah.
Jarum jam sudah menunjukkan angka dua dini hari, aku pun mengambil keputusan untuk tidur. Dan berjanji pada alarm, untuk bangun pukul lima nanti, ya apa lagi kalau bukan mencoba menghafal rumus-rumus matematika yang banyaknya Subhanallah. Biasanya, untuk melewati hari sakral ulangan atau ujian matematika adalah dengan cara menghafal rumus demi rumus.
Memang sih, itu bukan cara yang ampuh untuk menjawab soal matematika. Cara menghafal bakal ampuh jika digunakan untuk mata pelajaran sosial, yang butuh otak kanan untuk menghafal. Tapi, itulah cara yang salah tapi tetap saja aku gunakan. Alhasil, ujian demi ujian matematika aku lewati dengan begitu saja. Intinya nilai matematika sudah lewat standarnya saja sudah cukup.
Nilai matematikaku tak pernah mencapai angka delapan, selalu di ujung tanduk. Jika nilai standar kelulusan studinya 65, aku hanya berhasil mendapatkan 72 atau bahkan pernah mendapat 62, kurang tiga angka saja sudah harus ikut remedial.
***
“Tett..tettt.tettt..” suara bunyi bel tanda masuk jam pertama mata pelajaran pun berdering kencang.
Jantungku berdetak kencang, baju putih abu-abuku dibasahi keringat dingin, tanganku bergetar tak menentu. Oh Tuhan, dari kejauhan guru kiler sudah mulai mendekat ke kelas. Semua kerumunan siswa di luar mulai masuk dan memenuhi ruangan. Buk Susi yang terkenal kiler dengan mata pelajaran yang tak kalah bikin bulu kuduk merinding, mulai duduk di meja guru.
“Keluarkan kertas selembar, kumpulkan tas didepan kelas, tidak ada barang lain diatas meja kecuali kertas ulangan, kertas cari-cari dan satu buah pulpen,” Suara cetar membahana sang guru matematika mulai mengemparkan seisi kelas saat itu.
Aku mulai mencoba tidak gemetaran dan tidak takut, jika tidak rumus yang sudah kuhafalkan tadi subuh akan hilang sia-sia dari otakku. Aku mulai menuliskan apa yang dituliskan oleh buk Susi di papan tulis. Tidak sedikit, teman-teman sekelas yang mengeluarkan catatan dari bawah laci meja di sela-sela buk Susi sedang tidak memantau.
Soal yang diberi hanya lima soal, tapi masing-masing nomor, memiliki masing-masing lima anak soal. Berapakah semuanya? Ah, buat aku mumet dalam menjawab. Kenapa di matematika harus ada LOGARITMA? Padahal inti dari mata pelajaran yang sangat membosankan ini adalah penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Itu saja sudah cukup bukan untuk kehidupan ini ?
Soal pertama sampai soal nomor tiga sudah ku isi semampuku, tapi memasuki soal nomor empat. Ada sesuatu yang menganjal, GILAA, aku lupa rumus ini. Turunannya juga aku tak mengerti. Ini kan soal yang lumayan rumit, udah pakai pecahan decimal pakai logaritma, pakai kuadratnya lagi disetiap angka. Ah, mati aja deh, ngisi nie soal.
Aku sesekali menjerit kecil dalam hati, dan berdesah berat tanpa mengeluarkan suara. Gila aja kalau bersuara di kelas saat ini, bisa jadi di bom mendadak layaknya teroris. Aku nyerah, aku lupa bagaimana cara menjawab soal yang satu ini. Aku berusaha untuk melihat kearah buk Susi, ternyata ia sedang asyik dengan handphone nya. Ku palingkan wajahku ke kiri dan ke kanan berharap ada dewa penyelamat atau doraemon yang membantuku.
“Daraa, sedang apa kamu?” Suara serak-serak basah ala buk susi, membuat aku kembali ke soal. Ia pun mulai berdiri mendekatiku, aku berharap untuk menit kesekiannya aku masih bisa bernafas. Sang guru, mendekat dan melihat lembar jawaban ulangan logaritmaku. Ia mengangguk dan lantas segera menggelengkan kepalanya. Memberikan soal kembali pada tempatnya, dan berkata “Waktunya tinggal tujuh menit lagi ya,”
Ahh, sepertinya guru matematikaku itu mulai menyindirku. Apa yang harus aku lakukan dengan waktu yang tersisa hanya tujuh menit lagi dan sisa soal yang lantas masih sangat banyak untuk mendapatkan poin nilai standarr kelulusan.
Aku berfikir keras, sampai-sampai membuat cacing dalam perut juga ikut berdendang. Akupun mengambil kesimpulan, yang penting aku sudah menjawab semampuku. Ah, itu saja cukup. Aku mulai menyelesaikan soal demi soal dengan waktu yang tersisa. Di seberang tempat duduk, ada teman yang sudah selesai. Dia mengkodeku, berniat ingin menologku dari maut Logaritma yang luar biasa bisa membuatku keracunan.
“Ini ya, jawabannya di kertas yang kutendang ini. Ambillah. Itu jawabannya semua,” jelas teman yang sedari tadi duduk di seberangku. Perlahan aku mengucap rasa syukur, ada seseorang yang membantuku menjawab soal ini. Perlahan kuberanikan diri untuk mengambil  kertas yang sudah berada disisi kakiku itu, ku mainkan siku tanganku untuk menjatuhkan penghapus.
Penghapuspun terjatuh, dan aku mulai mengambil penghapus dan kertas yang dilempar tadi. Kubuka perlahan. Ada beberapa angka dan logaritmanya disana, ditulis secara acak. Aku mulai menulisnya dengan kecepatan tinggi pada kertas jawaban. Menginggat waktu sudah hampir memasuki finis. Oh Tuhan, aku mohon izinmu untuk melihat kertas yang bukan milikku ini.
“Waktu habis, silahkan kumpul kertas ulangan kalian dalam hitungan satu sampai tiga,” jelas guru matematikaku, tak lain adalah Buk Susi. Guru yang memiliki paras cantik dan tubuh langsing ini begitu tegas dengan suara khasnya yang berat dan nyaring.
Aku mengumpulkan lembaran jawabannya, menarik nafas panjang. Akhirnya aku lega juga. Dengan senyuman, aku menemui teman yang baru saja membantuku menjawab soal.
“Hei dit, makasih ya jawabannya tadi. Sangat membantu,” ucapku sambil tersenyum kepada lelaki yang memiliki tubuh tinggi semampai ini.
Sekejab wajah lelaki yang memiliki kulit kuning langsat itu, tertegun diam. Wajahnya berubah, tidak tersenyum. Tapi, berubah menjadi merasa bersalah. “Dara, maaf ya. Tadi aku salah melempar kertas untukmu. Karena terlalu terburu-buru, aku melempar kertas yang jawabannya salah. Jawaban yang benar ada disini,” ucap Adit sambil menunjukkan selembar kertas dengan tulisan yang sangat rapi. Beda dengan kertas yang aku dapat tadi, tulisan dikertas itu begitu tak beraturan.
Perlahan wajah senyumku berubah, menjadi murung dan binggung. Oh Tuhan, apakah ini karma? Karena aku tak jawab semampu otakku. Aku berusaha menenangkan hati Adit, walau bagaimanapun dia telah berbaik hati memberikanku jawabannya. “Tidak apa-apa, yang penting aku sudah mengisinya. Setidaknya lembar jawabanku tidak kosong,” aku tersenyum, sambil menepuk pundaknya.
Aku membalikkan badan, dan menepuk dahiku. Apa ini hanya mimpi? Ya Allah, bagaimana dengan nilai ulangan Logaritmaku? Ahh, benar-benar Logaritma ini membunuhku. Sungguh, membunuhku.[]

Tulisan ini, adalah Tulisan pada Antologi Pertama saya 'Aku dan Matematika' yang terbit pada February 2014.



2 komentar:

Unknown mengatakan...

Hehehe Aku senang baca tulisan ini, Saya jadi teringat setiap hendak ujian matematika, pasti stress dan pasti nyontek punya teman hahaha, nice dara bernuansa menghibur :)

Darahersavira mengatakan...

Alhamdulillah, syukur kalau senang bacanya bang :)
Tulisan ini di buku kan di antologi, Aku dan matematika :D

Posting Komentar