Rina dan Aku |
“Ya Allah,..” Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan,
menjepitkan kepala pada sela-sela lutut. Rasanya begitu getir hati ini. Usia
baru saja genap dua puluh tahun bulan dua lalu, tapi aku merasa kalau beban
hidup sudah sangat berat kupikul. Terkadang, aku sendiri yang membuat beban
yang biasa menjadi luar biasa beratnya.
Ketika ingin mengeluh, aku selalu ingat pesan seseorang. Wanita
yang begitu lembut kasihnya dan begitu bijak menghadapi getir hidup ini. “Jangan
pernah mengeluh nak ! Karena dengan mengeluh, beban itu akan lebih terasa dr
sebelumnya,” sekilas wajah anggunnya menyapa pikiranku, senyumannya
membangkitkan rasa rindu dihati.
Ah, aku sungguh merindukan sosok wanita itu. Penopang kekuatan
dalam hidupku. Hal seperti ini, sangat sering terjadi pada keseharianku.
Terkadang aku sampai kehilangan arah, meratapi dan menangis, lantas seperti itu
lagi.
Dan TERNYATA aku salah menilai hidup, aku salah menilai bahagia,
aku terlalu meratapi sisi lelah dalam hidup, terlalu terpuruk dengan apa yang
ada. Ah, aku salah..
Beberapa hari yang lalu, aku dan teman-teman sidomblogger mengunjungi Yayasan Pembina Anak Cacat
(YPAC) Aceh. Aku bertemu dengan teman-teman dengan berbagai sisi hidup yang
berbeda disana. Masing-masing dari mereka memiliki keterbatasan fisik. Ada yang
tak bisa berbicara, tak bisa mendengar, tak bisa berlari dan tak bisa berfikir
terlampau jauh.
Tapi, mereka memiliki semangat hidup yang sangat besar. Mereka
menghabiskan hari-hari dengan tersenyum, bercanda gurau, dan tertawa lepas
tanpa ada beban yang mereka pikul. Mereka menikmati hidup ini, mereka sama
sekali tidak memiliki beban hidup meski mereka dalam keterbatasan.
“Ah..” aku memukul keningku. Tak sepantasnya aku seperti ini bukan,
seharusnya aku itu lebih menghargai hidup, lebih memaknai setiap hari-harinya
dan lebih bersyukur atas apa yang telah Tuhan beri untuk hidup ini , dan tidak
sesekali berfikir untuk mengeluh dan mengeluh.
---
Aku mendapat satu teman baru disana, namanya Rina. Dia penderita
tuna runggu, tidak bisa berbicara, dan kurang dalam pendengaran. Saat itu aku
duduk di keramaian murid-murid SLB lainnya, riuh dan ramai dengan
teriakan-teriakan resmi menggambarkan suasana siang itu. Aku menikmatinya,
sungguh. Aku memperhatikan satu demi satu gerak tubuh mereka dalam
berkomunikasi satu dan lainnya.
Sangat ini mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan, tapi
sayang. Aku terhambat, hanya karena aku tak mengerti dengan apa yang mereka katakan dan mereka juga tak mengerti dengan apa yang aku katakan. Aku pun pasrah, dan
duduk terdiam. Seketika, gadis berpakaian putih abu-abu mendekat dari
kejauhan. Dia duduk berseberang dari kursiku, kami saling beradu pandang dan
tersenyum.
Dari jarak dekat ku lihat dengan jelas wajahnya, gadis ini tinggi
semampai tak jauh dari tinggi badanku yang hanya 155 cm. Berkulit kuning
langsat dan memiliki alis mata yang tebal, mata yang cukup indah, dan hidup
yang mancung. Sekilas melihat dia, aku tak percaya kalau dia memiliki
kekurangan fisik tidak bisa berbicara. Mungkin, dia layak menjadi model
ibukota. Senyuman itu yang membuat kami mulai berkomunikasi.
Awalnya dia bertanya aku darimana, sedang apa disini, dengan siapa
kesini. Dia bertanya dengan bahasanya yang sesekali mengeluarkan suara tanpa
nada disertai dengan gerak tangannya. Usahanya untuk membuatku mengerti apa
yang dimaksudkannya, membuahkan hasil. Perlahan aku mengerti apa yang ia
maksudkan.
Kami mulai bertukar pikiran dan informasi, dia berasal dari Tapak Tuan.
Sekarang masih duduk di kelas 1 SMALB, tinggal di asrama yayasan. Dari setiap
penjelasan yang ia utarakan, wajahnya tampak begitu ramah, garis-garis wajahnya
tampak begitu teratur mengikuti ekspresi wajahnya ketika berkomunikasi dan tak
pernah lupa, di akhir jawaban yang ia utarakan ia tersenyum simpul penuh arti,
membuat wajah belianya semakin manis dan begitu jelita.
Aku juga menangkap banyak dari gadis ini, harapan dia setelah
sekolah ini selesai dia akan segera pulang ke kampung saja. Tak tau apa
cita-cita yang ingin dia raih, setamat nanti dari sekolah ini. “Puusingg,
pikirnya. Gak ada cita-cita,” Ujar Rina, dilengkapi dengan peraga tangan yang
diarahkan ke kepala sambil memukul-mukul pelan kepalanya.
Begitu juga jawaban, ketika aku menanyakan apa hobby nya, dia
bilang dia tidak memiliki hobby. Bernyanyi tidak bisa, apapun tidak bisa. “Puusing
pikirnya,” lanjut Rina. Namun, setelah beberapa kali aku bertanya mengenai hoby
nya.
“Masak sih Rina gak punya hobby, yang Rina suka gitu gak ada,”
jelasku sambil sesekali juga memperagakan dengan tangan.
Seketika dia menjawab, “Rina bisa menari,” Aku tersenyum mendengar
jawaban gadis itu. Akhirnya, dia tau apa yang ia sukai. Di akhir pertemuan, aku
sungguh takjub dengan gadis ini lantas aku memujinya.
“Rina, Cantik sekali,” Sambil memperagakan tangan kearah wajahku
sambil menunjuk ke arahnya.
Dengan jelas dia menjawab, “Terima Kaaasih, Terimaa Kassih,” Sambil
menutup mulut dengan telapak tangannya dan tersenyum kembali kepadaku.
Di Akhir pertemuan hari itu, aku baru sadar bahwa umur gadis belia
tadi sangat jauh dariku. Dia seumuran dengan kakak tertuaku, kelahiran tahun
1985. Tapi wajahnya tampak sangat awet muda.
--Rinaaa, Terima Kasih Kembali. Telah menjadi pengetuk hatiku untuk
selalu bersyukur --
3 komentar:
Subhanallah... sungguh terketuk hatiku...:)
Terima kasih :)
Kerennn....
Posting Komentar