Selasa, 29 April 2014

Terimaa Kasih Rinaa

Rina dan Aku
“Ya Allah,..” Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, menjepitkan kepala pada sela-sela lutut. Rasanya begitu getir hati ini. Usia baru saja genap dua puluh tahun bulan dua lalu, tapi aku merasa kalau beban hidup sudah sangat berat kupikul. Terkadang, aku sendiri yang membuat beban yang biasa menjadi luar biasa beratnya.

Ketika ingin mengeluh, aku selalu ingat pesan seseorang. Wanita yang begitu lembut kasihnya dan begitu bijak menghadapi getir hidup ini. “Jangan pernah mengeluh nak ! Karena dengan mengeluh, beban itu akan lebih terasa dr sebelumnya,” sekilas wajah anggunnya menyapa pikiranku, senyumannya membangkitkan rasa rindu dihati.
Ah, aku sungguh merindukan sosok wanita itu. Penopang kekuatan dalam hidupku. Hal seperti ini, sangat sering terjadi pada keseharianku. Terkadang aku sampai kehilangan arah, meratapi dan menangis, lantas seperti itu lagi.
Dan TERNYATA aku salah menilai hidup, aku salah menilai bahagia, aku terlalu meratapi sisi lelah dalam hidup, terlalu terpuruk dengan apa yang ada. Ah, aku salah..
Beberapa hari yang lalu, aku dan teman-teman sidomblogger mengunjungi  Yayasan Pembina Anak Cacat (YPAC) Aceh. Aku bertemu dengan teman-teman dengan berbagai sisi hidup yang berbeda disana. Masing-masing dari mereka memiliki keterbatasan fisik. Ada yang tak bisa berbicara, tak bisa mendengar, tak bisa berlari dan tak bisa berfikir terlampau jauh.
Tapi, mereka memiliki semangat hidup yang sangat besar. Mereka menghabiskan hari-hari dengan tersenyum, bercanda gurau, dan tertawa lepas tanpa ada beban yang mereka pikul. Mereka menikmati hidup ini, mereka sama sekali tidak memiliki beban hidup meski mereka dalam keterbatasan.
“Ah..” aku memukul keningku. Tak sepantasnya aku seperti ini bukan, seharusnya aku itu lebih menghargai hidup, lebih memaknai setiap hari-harinya dan lebih bersyukur atas apa yang telah Tuhan beri untuk hidup ini , dan tidak sesekali berfikir untuk mengeluh dan mengeluh.
---
Aku mendapat satu teman baru disana, namanya Rina. Dia penderita tuna runggu, tidak bisa berbicara, dan kurang dalam pendengaran. Saat itu aku duduk di keramaian murid-murid SLB lainnya, riuh dan ramai dengan teriakan-teriakan resmi menggambarkan suasana siang itu. Aku menikmatinya, sungguh. Aku memperhatikan satu demi satu gerak tubuh mereka dalam berkomunikasi satu dan lainnya.
Sangat ini mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan, tapi sayang. Aku terhambat, hanya karena aku tak mengerti dengan apa yang mereka katakan dan mereka juga tak mengerti dengan apa yang aku katakan. Aku pun pasrah, dan duduk terdiam. Seketika, gadis berpakaian putih abu-abu mendekat dari kejauhan. Dia duduk berseberang dari kursiku, kami saling beradu pandang dan tersenyum.
Dari jarak dekat ku lihat dengan jelas wajahnya, gadis ini tinggi semampai tak jauh dari tinggi badanku yang hanya 155 cm. Berkulit kuning langsat dan memiliki alis mata yang tebal, mata yang cukup indah, dan hidup yang mancung. Sekilas melihat dia, aku tak percaya kalau dia memiliki kekurangan fisik tidak bisa berbicara. Mungkin, dia layak menjadi model ibukota. Senyuman itu yang membuat kami mulai berkomunikasi.
Awalnya dia bertanya aku darimana, sedang apa disini, dengan siapa kesini. Dia bertanya dengan bahasanya yang sesekali mengeluarkan suara tanpa nada disertai dengan gerak tangannya. Usahanya untuk membuatku mengerti apa yang dimaksudkannya, membuahkan hasil. Perlahan aku mengerti apa yang ia maksudkan.
Kami mulai bertukar pikiran dan informasi, dia berasal dari Tapak Tuan. Sekarang masih duduk di kelas 1 SMALB, tinggal di asrama yayasan. Dari setiap penjelasan yang ia utarakan, wajahnya tampak begitu ramah, garis-garis wajahnya tampak begitu teratur mengikuti ekspresi wajahnya ketika berkomunikasi dan tak pernah lupa, di akhir jawaban yang ia utarakan ia tersenyum simpul penuh arti, membuat wajah belianya semakin manis dan begitu jelita.
Aku juga menangkap banyak dari gadis ini, harapan dia setelah sekolah ini selesai dia akan segera pulang ke kampung saja. Tak tau apa cita-cita yang ingin dia raih, setamat nanti dari sekolah ini. “Puusingg, pikirnya. Gak ada cita-cita,” Ujar Rina, dilengkapi dengan peraga tangan yang diarahkan ke kepala sambil memukul-mukul pelan kepalanya.
Begitu juga jawaban, ketika aku menanyakan apa hobby nya, dia bilang dia tidak memiliki hobby. Bernyanyi tidak bisa, apapun tidak bisa. “Puusing pikirnya,” lanjut Rina. Namun, setelah beberapa kali aku bertanya mengenai hoby nya.
“Masak sih Rina gak punya hobby, yang Rina suka gitu gak ada,” jelasku sambil sesekali juga memperagakan dengan tangan.
Seketika dia menjawab, “Rina bisa menari,” Aku tersenyum mendengar jawaban gadis itu. Akhirnya, dia tau apa yang ia sukai. Di akhir pertemuan, aku sungguh takjub dengan gadis ini lantas aku memujinya.
“Rina, Cantik sekali,” Sambil memperagakan tangan kearah wajahku sambil menunjuk ke arahnya.
Dengan jelas dia menjawab, “Terima Kaaasih, Terimaa Kassih,” Sambil menutup mulut dengan telapak tangannya  dan tersenyum kembali kepadaku.
Di Akhir pertemuan hari itu, aku baru sadar bahwa umur gadis belia tadi sangat jauh dariku. Dia seumuran dengan kakak tertuaku, kelahiran tahun 1985. Tapi wajahnya tampak sangat awet muda.

--Rinaaa, Terima Kasih Kembali. Telah menjadi pengetuk hatiku untuk selalu bersyukur --

3 komentar:

Inilah Aceh mengatakan...

Subhanallah... sungguh terketuk hatiku...:)

Unknown mengatakan...

Terima kasih :)

isr romeo mengatakan...

Kerennn....

Posting Komentar