Senin, 16 Desember 2013

Mama, Aku Masih Menunggumu

“Mamaaa,.. aku takut, gak mau dilepas, ayo tuntun aku bersepeda,” teriakku histeris ketika mama mulai melepaskan genggamannya dari sepedaku. Sudah sepekan ini aku belajar mengayuh sepeda, ayah membelikanku sepeda baru, berwarna merah jambu dan memiliki keranjang didepannya. Sepedaku rodanya tiga. Baru kali ini aku naik sepeda, biasanya aku hanya duduk dibelakang dan membiarkan kakak atau abang sepupuku untuk mengayuh sepeda dan membawaku pergi menyusuri jalan.

Aku senang sudah ada sepeda baru, aku juga sangat ingin bisa mengayuh sepeda sendiri. Tanpa harus duduk dibangku belakang selalu. Tapi, dalam sepekan ini aku belajar sepeda bersama mama selalu saja merasa takut. Aku merasa belum seimbang, aku takut ketinggian dan aku takut jatuh. Mama, sangat sabar mengajarku. Setiap sore, sebelum petang datang. Kami bersepeda di halaman depan rumah.

“Tidak apa-apa sayang, yakinlah adek tidak akan jatuh. Sepedanya kan punya roda tiga, Ayo semangat. Mama tunggu di depan sana ya, “ ujar mama sambil memberikan segaris senyum di wajahnya, mama pergi beberapa langkah dariku. Kini ia sudah berada  beberapa langkah didepanku, dari kejauhan ia menepuk tangan sambil menyorakkan kata-kata semangat kepadaku.

Dengan semangat itulah, aku berani mengayuh sepeda. Sambil terus melihat kedepan. Perlahan demi perlahan aku semakin bisa menjangkau mama. Dan sekarang aku sudah berada tepat dihadapannya. “Yee, Horee. Aku sudah bisa mengayuh sepeda sendiri,” Aku bersorak gembira, mama tersenyum melihatku. Dan ia melayangkan sebuah kecupan di keningku. Aku suka itu, setiap kali aku berhasil membuat sesuatu dengan semangat. Mama pasti akan menciumku, kata mama itu merupakan tanda bahwa ia bangga kepadaku.

Mama selalu saja memberiku semangat, bahkan ia selalu saja memulai kata semangat itu dengan kata ‘Tunggu’. “Anak yang pintar harus rajin sekolah, ayo bangun. Mama tunggu didepan ya,” kalimat itu yang keluar ketika aku sudah jenuh dengan rutinitas sekolahku. Bahkan mama sering mengatakan, “Mama tunggu ya, kapan adek bisa dapat peringkat dikelas,” Kata ‘tunggu’ itu menjadi sebuah tali penyebar semangat bagiku. Aku merasa bahwa kata ‘tunggu’ itu merupakan sebuah tantangan dari mama, dan diujung tantangan itu mama selalu membuat kejutan khusus untukku. Terkadang aku tak berharap banyak, aku hanya menginginkan kecupannya di kening. Itu saja sudah cukup.

Perlahan dengan tularan semangat darinya, aku jadi terbiasa untuk menjalani semua tantangan seorang diri. Ya. Mama perlahan-lahan telah menggubahku untuk tidak menjadi anak yang cenggeng, menggubahku untuk menjadi anak yang mandiri. Bahkan mama mengenalkanku sejak dini mengenai tanggung jawab atas perbuatan yang sudah kuperbuat.
***
Suatu pagi, mama sedang memasak didapur. Ketika itu aku baru saja bangun tidur, ketika melihat rutinitas memasak mama setiap pagi. Aku ingin sekali membantunya. Tapi, mama selalu saja berkata, “Nanti saja, kalau adek sudah besar baru bantu mama didapur,”. Tapi, aku tetap saja bersi keras untuk membantunya.

Aku membuka kulkas, dan aku mengambil telur. Telur yang kuambil seketika pecah ditanganku, sebelum sampai ke tangan mama.  Mungkin karena saat itu aku terlalu kuat mengenggam telur itu, sehingga telurnya pecah. Mama tidak berbicara sepatah katapun kepadaku, aku melihat wajah mama masih tenang. Tapi, aku merasa takut. Aku bergegas lari ke kamar mandi. Mencuci tanganku pakai sabun. Akupun lantas ingin membersihkan lantai tempat telur yang kupecahkan tadi. Tapi, mama melarangnya. “Sudah, tunggu saja dikursi itu. Biar mama yang membereskannya,” Ia tidak sedikitpun memarahiku, bahkan untuk sekedar menaikkan suara saja tidak pernah. Tapi, ia menimbulkan kesan dingin. Sehingga membuatku, berintropeksi sendiri mengenai kesalahan yang telah kuperbuat.

Mama, tak pernah jauh dari kata ‘Tunggu’. Ketika aku berangkat sekolah, mama berkata “Tunggu, sampai mama jemput ya. Jangan kemana-mana,”. Ketika aku sedang di suatu tempat dan hujan datang, mama juga selalu berkata,”tunggu saja, sampai mama kembali,” Bagiku, kata ‘tunggu’ yang mama ucapkan sangat bermakna. Ketika mama sudah mengucapkan kata ‘tunggu’ aku yakin mama pasti kembali, karena itu aku tak boleh bosan menunggunya.
***
Tetapi, aku pernah suatu kali tertipu dengan kata ‘tunggu’ yang diucapkan oleh mama. Aku ingat hari itu, ketika matahari baru bersinar dan ketika matahari belum mengeluarkan teriknya. Minggu, 26 Desember 2004. Pagi itu, mama meninggalkan rutinitas memasaknya setiap pagi. Ia pergi kepasar untuk berbelanja sarapan. Aku dibiarkannya tinggal bersama ayah dirumah. Setelah setengah jam  mama pergi ke pasar, bumi bergoyang kencang. Gempa besar membuat rumah kami pun ikut bergoyang seperti ayunan dengan skala tinggi.

Aku dibawa lari oleh ayah keluar rumah, menuju lapangan. Ayah tak berhenti untuk beristigfar, dan terus memelukku. Aku ingat mama yang masih dijalan, Ayah hanya berkata “Tenang saja, mama tidak apa-apa. Sebentar lagi akan pulang,” Aku percaya itu, tak lama setelah gempa usai mama pulang. Ketika mama pulang, ia langsung menyiumku dikening. Mama menyuruhku sarapan, katanya agar aku kuat dan sehat.

Bahkan karena itu, aku menyantap sarapan dengan lahap dan menambah porsi makanku menjadi dua kali. “Nanti, kita adu kuat lari ya ma,” ujarku sambil tertawa. Lagi-lagi mama hanya tersenyum mendengar ucapanku. Setelah sarapan, aku berlari mengambil sepeda. Berencana untuk sekedar mengayuhnya di sekeliling rumah. Dari kejauhan, tampak begitu banyak orang berlarian.

Aku bergegas mencari mama, “Maa, banyak orang diluar ikut lomba lari” Kataku begitu polos saat itu. Mama bergegas keluar, ternyata seluruh orang yang juga mengajak kami  untuk berlari. “Laariii..Larrii. Air laut naikk. Cepat,” Teriakkan para warga sambil terus berlari membawa anak-anaknya.

Aku masih tercengang, begitu juga mama dan ayah. Mama tidak percaya, “Bagaimana bisa air laut naik ke darat sejauh ini?” Tanya mama kepada ayah saat itu. Ayah, tak menjawab apa-apa ia hanya menarik tanganku dan tangan mama kearah warga yang sedang berlarian. Kami terbawa arus orang-orang yang sedang berlarian.

Ditengah pelarian, mama memutar balik arus lari kami. Mama melempar pertanyaan kepada ayah, “Bagaimana kalau kita lari naik sepeda motor saja?” Tanya mama dibalik keramaian orang ramai. Ayah tidak setuju dengan ajakan mama, “kita tidak bisa menerobos warga yang berlarian ini. Bahkan akan memperlambat lari kita, jika kita menggunakan sepeda motor,” jelas ayah setengah berteriak.

Baru pertama kali aku melihat Ayah dan Mama tak sepaham, mama tetap bersi keras untuk menggunakan sepeda motor. Ketika ia melihat aku, yang sangat kebinggungan. Ia mulai mengusap kepalaku dan memberi kecupan dikeningku.

“ Sayang, sekarang lari ikut arus orang-orang yang berlarian. Dan tunggu mama di depan simpang jalan ya, nak. Jangan takut, tunggu saja disana sampai mama dan ayah kesana yaa,” mama terus menatapku, mungkin ia menunggu kepastian agar aku mengangguk. Aku pun menganggukkan kepala, aku berlari sekuat tenaga. Agar sampai pada simpang jalan yang mama maksud. Aku akan tunggu dia disana.
Saat itu, aku yakin kata ‘tunggu’ itu benar-benar membuahkan hasil. Asalkan aku mau bersabar.
***
Orang semakin banyak yang berlarian, saat itu aku buta arah. Aku kelelahan, tapi aku masih punya semangat untuk sampai pada tempat yang telah mama katakan tadi. Dan akhirnya aku sampai, aku menunggu mama disimpang ini. Tak lama, ketika aku lihat kebelakang. Ada gelombang besar berwarna hitam berdiri disana. Itu tepat disisi rumahku.
“Kenaapa kamu bengong disini, ayo lari. Air bah yang hitam itu akan kesini,” Seorang laki-laki datang menolakku dari belakang, ia seperti terburu-buru. Hawa ketakutan, tampak jelas diraut wajahnya.
Perlahan aku tergeser ke bahagian depan jalan, aku tak berniat lari sedikitpun. Meski aku takut melihat gelombang raksasa itu. Aku ingat, perkataan mama tadi untuk tetap menyuruhku menunggu disini. Di persimpangan jalan. Tetapi, mengapa mama belum juga muncul didepanku. Mana mama? Aku sangat takut, perlahan air itu mulai mendekat.
Aku pun berlari, dan “Awwwaasss,” teriak seorang laki-laki. Ternyata sebatang tiang listrik yang sangat tinggi jatuh menutup badan jalan, dan kakiku tersangkut dibawahnya. Rasa takut tambah besar menyelimuti hatiku, aku berharap saat ini akan ada mama yang datang untuk membantuku.
Tiba-tiba, seorang laki-laki paruh baya membantuku untuk lepas dari beratnya beban tiang listrik. Tanganku digenggamnya, dan ia bawa lari. Kakiku bercucur darah, aku menangis.  Menjerit sejadi-jadinya. Aku menangis karena aku telah mengikari janjiku untuk menunggu mama disana. Di tempat yang telah kami sepakati. “Lepasskan aku paman, aku mau menunggu mamaku disana. Ia menyuruhku untuk menunggu di persimpangan jalan itu,” Aku memberontak, akhirnya tanganku dilepaskan oleh laki-laki itu.
“Sudahlah nak, jangan kesana lagi. Mamamu sudah dimakan oleh gelombang hitam itu, sangat bahaya kalau kamu kembali kesana lagi,” Ujar lelaki paruh baya itu kepadaku. Kurasa, ia sangat iba melihatku.
Aku serba salah. Aku merasa sangat bersalah, kenapa aku tidak berhasil menunggu mama hari itu? Kenapa aku tidak memiliki kesabaran yang cukup untuk menunggu mama? Biasanya saja aku sangat sabar menunggu mama sampai ia datang. Lantas, kenapa mama dan ayah belum juga hadir ketika aku sudah menunggu mereka di persimpangan jalan tadi? Mengapa mama tidak datang menolongku ketika kakiku terjerat oleh tiang listrik?
Pertanyaan demi pertanyaan menghampiriku, aku sangat kacau. Aku tetap menunggu mama, pada persimpangan jalan yang lain. Jalan yang dapat dilalui tanpa bisa dilalui oleh air bah raksasa tadi.
Dua hari dua malam, aku menunggu mama disana. Dibawah pohon pinang, dipersimpangan jalan dan didepan kantor Pemadam Kebakaran. Ada banyak mobil yang menawarkan tumpangan kepadaku, namun tak sedikitpun aku hiraukan. “Aku masih mau menunggu mama disini, aku yakin ia tak akan membohongiku. Ia akan hadir disini, untuk menemuiku. Aku percaya itu,” kata-kata itu yang aku ucapkan ketika orang-orang melewatiku untuk menawarkan tumpangannya.
Mama, kemana dirimu? Aku sudah menunggumu disini, hingga hari ini tepat Sembilan tahun kejadian itu. Mama juga tak pernah menepati janji terakhirnya itu, untuk menyusulku dipersimpangan jalan. Mama, aku masih menunggumu.

Based on true story : Gempa dan Tsunami Aceh --- 26 Desember 2004 --- 08.45 wib

2 komentar:

Ferhat Muchtar mengatakan...

hiksss,... sabar ya Daraa..

Darahersavira mengatakan...

:) insyaallah akan selalu bang Ferhat

Posting Komentar