Perjalanan kali ini ditempuh dengan jarak 25 Kilometer dari ibu
kota Banda Aceh, desa ini terbilang jauh dari keramaian ibu kota, namun sangat
menjanjikan bagi para penikmat pantai. Perjalanan di lengkapi oleh pemandangan
indah nan asri. Perpohonan rindang dan lebat berkumpul di sepanjang jalan,
memasuki kilometer 20 terlihat pinggiran pantai luas yang berukuran sangat
pendek dari badan jalan. Itu adalah pantai Ujong batee tepat disebelah timur Kota
Banda Aceh. Lima kilometer lagi terdapat sebuah desa yang bernama Ruyong,
kecamatan Mesjid raya, dusun Pinto gerbang. Tiga kilometer lagi memasuki desa
krueng raya, Aceh Besar.
Memasuki tepi jalan Laksamana hayati, terdapat sebuah rumah
panggung berukuran 5X7 tepat di sisi kiri jalan. Rumah yang hanya berdinding
kayu ini adalah milik keluarga Zainuddin. Lelaki separuh baya ini adalah
seorang penjual buah-buahan yang berlapak di pinggir jalan Universitas syiah
kuala, tepatnya berada di koridor jalan fakultas Ekonomi. Kesungguhannya dalam
mengadu nasib untuk hidup sangat bisa di acungkan jempol.
Zainuddin hanyalah seorang lelaki yang hanya mengandalakan mata
hati dan daya ingatnya untuk melihat dan
mencari nafkah, pasalnya sepasang matanya tak bisa melihat lagi sejak usianya
memasuki tiga tahun. Zainuddin terbilang memiliki semangat dan sangat santai
dalam menjalani hidup, bahkan ia tak pernah mau ambil pusing tentang mereka
yang bersikap tidak kemanusiaan terhadapnya.
Berjualan mangga sudah ia lakoni pasca Aceh tergulung oleh
gelombang hitam, 26 Desember 2004 lalu. Sebelum berjualan mangga ia sudah
memiliki berbagai pengalaman dalam prihal berjualan, salah satunya berjualan
udang dan tiram. Keterbatasannya yang tak dapat melihat mengharuskannya untuk
tidak berprofesi lebih dari hal jual beli, bahkan udang atau mangga yang akan
ia jual beli kan adalah hasil dari ia beli dari orang lain yang memiliki pohon
atau tambak udang.
Ia memilih berjualan mangga di Unsyiah pasca tsunami di karenakan,
waktu yang memungkinkan berjualan hingga matahari terbenam. Sedangkan
pengalamannya berjualan udang dan tiram, waktu ramainya pembeli hanya sampai
pukul 12 siang saja.
“Susah sekali dengan segala keterbatasan, tetapi saya tidak boleh
menggeluh. Jadi saya memilih berjualan mangga di Unsyiah, mahasiswa kan baru
selesai kuliah hingga pukul 6 sore. Sedangkan jika pengalaman saya dulu
berjualan udang di peunayong hanya sampai pukul 12 Siang pembeli tak ada lagi.”
Ujar Lelaki berkelahiran Meulaboh, 07 November 1963 ini.
Semangatnya tak pernah runtuh, Zainuddin harus menempuh jarak
puluhan kilometer untuk sampai ke lapaknya berjualan. Ia harus merogoh kantong
Rp 40 Ribu perharinya untuk ongkos naik angkutan umum labi-labi dari rumah ke
Unsyiah, ia berjualan di temani oleh ke dua putranya yang kini berusia 9 dan 4
tahun.
Pengeluaran yang dikeluarkannya terkadang tidak membuahkan hasil,
jika cuaca mendukung penjualannya akan habis. Terkadang tinggal untuk besoknya
lagi, namun karena yang di perjual belikan hanya buah-buahan seperti Mangga dan
sirsak akan mengalami kematangan dan lembab. Di situlah kerugian yang akan
timbul dari dagangannya.
Menjual mangga pun tak selamanya berbuah manis, terkadang jika tak
ada musim ia tak berjualan. Dan jika bermusimpun mesti ada orang yang memanjat
pohon untuk mengumpulkan mangganya.
“Harus mencapai 100 hingga 200 Kilogram mangga yang akan kita
ambil. Jika tidak orang yang manjatnya tidak mau naik ke atas pohon. Wajar
untuk 10 kg mangga di hargai Rp 10 ribu. Mereka kan juga mencari rezeki.” Ujar
Suami dari Mariani.
Penglihatan tidaklah penting bagi lelaki separuh baya ini, ia tak
pernah mengeluh dengan matanya yang tak dapat melihat. Untuk berjualan dan
melakukan aktivitas lainnya sudah terhafal penuh di memori ingatannya, sehingga
semuanya dapat ia lakoni seperti layaknya orang biasa.
Matanya tak dapat melihat
akibat kecelakaan yang terjadi ketika ia berumur 3 tahun, kecelakaan itu tak
hanya menimpanya tetapi juga ke tiga saudara kandungnya. Hanya satu kakaknya
yang dapat tertolong.
“Kata ibu saya ini karena meurampot
di hutan ketika saya bermain bersama saudara-saudara saya. Ibu saya yang waktu
itu masih sangat muda, tak mengerti dengan hal semacam itu dan membawa kami ke
rumah sakit. Sedangkan kakak saya yang satunya lagi hanya di bawa ke tukang rajah.
Namun dia lah yang berhasil melihat kembali, kami yang lainnya seperti ini
hingga sekarang.” Kenang ayah dari Rahmat dan Mukhlis ini.
Kini dengan segala keterbatasan ia hanya ingin hidup keluarga dan
pendidikan anak-anaknya dapat berjalan seiring waktu. Tak pernah berfikir hidup
untuk yang berlebihan “Untuk ada isi perut saja sudah cukup” itu kata-kata yang
ia ulang sebanyak 3 kali.
Namun layaknya setiap ayah dan setiap kepala keluarga, Zainuddin
pun memiliki harapan yang penuh untuk putra-putranya. Bahkan ia berharap agar
putra-putranya kelak tidak hidup sama seperti dirinya, paling tidak dapat
sedikit lebih berdaya untuk mencari isi perut. Ia pun sangat menekankan
pendidikan yang penuh bagi putra pertamanya Rahmat yang kini baru duduk di
bangku kelas 4 sekolah dasar, ia mengajarkan rahmat untuk dapat mandiri.
“Selalu saya bawa anak-anak untuk ikut berjualan bersama saya, agar
mereka tidak banyak bermain di kampung. Tetapi belajar untuk hidup mandiri,
terkadang mereka sudah mulai berkomunikasi dengan pembeli.” Lanjut Zainuddin.
Dana juga sangat terkendala bagi pengobatan matanya, siapa yang tak
mau melihat ? itu kalimat yang ia lontarkan, layanan masyarakat Aceh seperti
JKA tak dapat membantunya untuk melihat kembali. Ia sudah pernah pergi ke rumah
sakit, namun pihak rumah sakit hanya menyarankan ia melakukan pengobatan mata
di luar negri. Dokter mata saja juga sudah memprediksikannya untuk kemungkinan
mata yang dapat di operasi hanya sebelah kanan saja, itu juga jika ada pendonor
mata.
Hal lain yang menjadi targetnya adalah membuka sebuah tempat jahit
di daerah jalan lingkar kampus Unsyiah, Darussalam. Kini untuk sebuah permulaan
ia sedang menyediakan tahap pembuatan ruko kecil berukuran 7 X 6 yang ia
kumpulkan dananya dari hasil penjualan mangga.
“Sekarang saya sedang mempersiapkan perubahan, jika hujan datang
tak perlu susah-susah lari mencari tempat persinggahan sudah ada ruko sendiri,
meski pun kecil itu punya sendiri.” Tutur Zainuddin.
Meski semuanya keterbatasan, tetapi ia tak pernah memaksakan diri
untuk meminta-minta atau mengemis di jalanan. Ia memiliki prinsip semua orang
memiliki jalan rezeki masing-masing yang telah di sediakan oleh Allah. Kini
kita hanya perlu berusaha.
“Kunci rezeki adalah Kesehatan. Kesehatan itu sangatlah penting.”
Ujar Zainuddin mengakhiri pembicaraan.
0 komentar:
Posting Komentar