Lelaki itu adalah Baidhawi, perantau
dari Kota Padang Tiji, Kabupaten Pidie, yang berhasil menjadi sarjana dari
usahanya menjadi loper koran. Berasal dari keluarga sederhana, orang tua
Baidhawi adalah seorang petani dan pedagang sayur di pasar lokal. Dengan
kondisi itu ia sadar tak mudah baginya untuk mewujudkan impian menjadi seorang
sarjana. Namun, ia telah bertekad bahwa dirinya harus meraih gelar tersebut,
meski untuk itu ia harus merasakan pil pahit tantangan hidupnya.
Sejak 2005 silam, ia mulai meninggalkan kampung halamannya untuk mengadu nasib ke ibu Kota Provinsi. Banda Aceh memang jadi pilihannya. Sejak itu satu demi satu kisah hidupnya dimulai. Awal-awal hidup di Banda Aceh, ia mencari peruntungan dengan bekerja di warung kopi. Menyadari uang yang didapat di sana tak cukup untuk membiayai keinginannya untuk kuliah, ia pun banting stir. Baidhawi kemudian menjadi loper koran.
“Awalnya saya melihat teman saya
yang juga loper koran. Sepertinya pekerjaan ini lebih mudah karena hanya
bekerja separuh waktu, sisa waktu lainnya bisa dipakai untuk kuliah.” Ujar
Baidhawi, ketika di jumpai The Atjeh Post, 11 Oktober 2012 di Warung Kopi
Berlian Jalan Cut Ali, di belakang Mesjid Raya Baiturrahman.
Meskipun uang yang didapatkannya
tidak seberapa, ia tak berkecil hati. Sebab yang ia harapkan adalah biaya dan
waktu luang untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Itulah
alasannya kenapa tetap bertahan menjadi seorang loper koran.
Setelah menjadi loper koran, ia
terbiasa bangun pagi sebelum azan subuh berkumandang. Setelah itu ia pergi
untuk mengambil koran terbitan lokal ke kantor media tersebut. Ia pun melaju di
bekuknya udara pagi dengan sepeda gunungnya. Lantas mengantarkannya ke beberapa
pelanggannya.
Ia tak peduli meski setiap hari
harus menempuh jarak hingga berkilo-kilo meter. Ia juga tak ambil pusing ketika
panasnya matahari membuat kulitnya terbakar dan menjadi hitam. “Ini memang udah
jalan hidup. Jalani saja, lagi pula kondisi orang tua juga tidak mendukung
untuk mengirim uang kuliah,” ujar lelaki kelahiran Sigli, 01 Mei 1980 ini.
Seluruh biaya pendidikannya di tanggung
sendiri. Ia pun tak pernah meminta dari orang tuannya. Kadang-kadang ia
mendapatkan beasiswa karena memiliki prestasi yang bagus di kampus. Meski tak
terlalu besar beasiswa itu sangat membantunya.
“Mengenai biaya kuliah dari hasil
penjualan koran. Kira-kira sekitar 1,2 juta per bulannya. Terkadang ada
beberapa kali dapat beasiswa di kampus.” Lanjut pemuda yang bercita-cita
sebagai menteri negara ini.
Semangat dan perjuangan hidup
Baidhawi memang patut dicontoh. Dengan segala keterbatasannya, Sulung dari
empat bersaudara ini mampu menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Ia berhasil
lulus dalam kurun waktu empat tahun. Ia pun menghadiahkan gelar tersebut kepada
kedua orang tuanya.
“Mereka sangat terkejut saat saya
mengabarkan mereka harus hadir ke acara wisuda saya bulan September lalu,” kata
Baidhawi.
Kini setelah mengantongi ijazah
sarjana, Baidhawi masih tetap berjualan koran. Ia pun bermaksud untuk mengikuti
kursus untuk menambah pengetahuannya. Terutama di bidang teknologi.
“Dalam penguasaan komputer saya kurang, mungkin karena tidak
terbiasa memegangnya, jadi kini saya mengumpulkan uang untuk mengikuti kursus,”
ujar lelaki yang tinggal di sebuah kios di sekitar Pasar Aceh ini.
Baidhawi pun menyesalkan beberapa
teman-temannya yang berasal dari keluarga mampu namun menyia-nyiakan waktu
kuliahnya.
“Biarkan saja tak memiliki harta,
yang penting kita tetap memiliki ilmu,” Katanya.
0 komentar:
Posting Komentar