Selasa, 12 Juni 2012

Halimatun Sa'diah : Hidupku Pada Sebutir Garam


Wanita separuh baya ini, dengan lihai mengoyangkan tubuhnya sembari mengikuti gerakkan sendok yang mengaduk-aduk pasir didalam kuali beukuran besar. Satu demi satu tetesan keringat mulai berjatuhan di lekukan wajahnya yang kusam terkena matahari. Sesekali, ia basuh keringatnya dengan baju yang ia gunakan.


Bagi sebagian orang, sangat mudah untuk mendapatkan butiran-butiran putih ini. Bahkan harga belinya pun sangat murah, hanya 5.000 rupiah. Lain kisahnya dengan wanita paruh baya ini, ia mati – matian mengaduk pasir di kuali dengan api yang sangat kecil. Hanya untuk mengumpulkan satu demi satu butiran putih itu yang timbul dari pasir yang ia masak. Untuk dijualnya.


Halimatun Sa’diah, wanita berusia 48 tahun ini. Sudah delapan tahun tidak lagi memasak garam sendiri. Bangunan dan tanah untuk menanam garam sudah habis dibawa air hitam 26 desember lalu. Sekarang ia bersama sang suami lebih memilih melakoni pekerjaannya sebagai penjual garam. Garam yang ia jual adalah garam yang ia beli langsung dari petani garam di tempat tinggalnya, Kajhu. Aceh Besar.
Wajah yang teduh, tampak dari kelopak mata yang lelah. Walau tampak begitu lelah, tetaplah senyuman yang menghiasi setiap ia berbicara. Sudah genap delapan tahun ia melakoni pekerjaannya sebagai penjual garam, tepatnya pasca tsunami 2004 lalu.
Sedari subuh buta, ia bersama suaminya sudah membawa garam kepasar peunayong. Banda Aceh. Garam yang ia jual seharga 5.000 rupiah untuk satu plastiknya. Halimah memilih duduk jauh dari suaminya, agar garamnya dapat habis terjual. Setiap detik yag ia lewatkan untuk menjajakan garam, selalu ada doa, agar orang yang lewat dapat menghabiskan sejumlah garamnya.
Hanya satu dua orang yang singgah untuk membelinya. Maklum, butiran-butiran putih yang menimbulkan rasa asin itu, tak menjadi makanan pokok untuk sehari-hari. Hanya sebagai pelengkap bumbu yang memberi rasa gurih pada masakan.
Sebelum, memilih untuk berjualan garam. Sudah berpuluh kali ia mencoba pekerjaan lain. Tak tanggung-tanggung pekerjaan yang ia lakoni, rata-rata memutuhkan tenaga yang cukup besar. Seperti tarik pukat, membuat garam, jualan ikan, mencari tiram sampai mencari kepiting.
Perlu di acungkan jempol untuk kehebatan ibu yang satu ini, ia berkorban untuk membantu suaminya yang hanya tukang becak. Keikhlasan hatinya, direbut oleh ombak besar yang menelan ke delapan buah hati dan suami tercintanya. “Ketika tsunami, saya sedang berjualan boi (bolu) di Takengon. Kawan saya bilang, penghasilannya lumayan. Jadi saya tidak melihat tsunami.” Tuturnya sambil membenarkan letak kerudungnya.
Wanita, berkelahiran  Kajhu. Aceh besar ini, juga sangat senang dengan pekerjaannya sebagai penjual garam. Walau sehari ia bersama sang suami hanya dapat mengantongi 200.000 rupiah saja. Jika dua karung garam yang ia bawa habis terjual semuanya. Keuntungan yang ia dapatkan dalam setiap harinya, akan menjadi modal untuk hari esoknya lagi.
Kelihaiannya dalam membuat garam pun, sudah tak perlu diragukan lagi. Ia bisa menerangkan tahapan demi tahapan dari membuat garam. Namun, sayangnya ia tak memiliki modal yang cukup untuk memproduksi garam sendiri. Sebelum tsunami datang, sudah ia siapkan sepetak tanah untuk pengelolaan garam. Ia berharap, ini adalah modalnya untuk berusaha, Tuhan berkata lain. Tsunami datang mengambil segala yang ia miliki.
Garam yang ia jual dipasar dengan kualitas tinggi pun, disambut manis oleh beberapa pelanggan yang sudah terbilang menjadi langganan tetap ditempatnya. Beberapa warung nasi, tempat bakso pun menjadi langganan ditempatnya.
Halimatun Sa’diah. Lepas dari pekerjaannya sebagai penjual garam, ia juga gemar dalam hal memasak, mengaji, bahkan ia juga mengikuti kegiatan kelompok pengajian ibu-ibu shalawat di Kajhu, tempat tinggalnya.
“walaupun hidup sehari-hari saya dan suami hanya dari hasil berjualan garam. Namun, tak lupa selalu mengaji dan ingat Allah”Tuturnya mengakhiri pembicaraan. [Dara Hersavira]

1 komentar:

naratif.blogspot.com mengatakan...

Adek sudah jualan garam ya.

Posting Komentar