Wanita separuh baya ini, dengan lihai mengoyangkan tubuhnya sembari mengikuti gerakkan sendok yang mengaduk-aduk pasir didalam kuali beukuran besar. Satu demi satu tetesan keringat mulai berjatuhan di lekukan wajahnya yang kusam terkena matahari. Sesekali, ia basuh keringatnya dengan baju yang ia gunakan.
Bagi
sebagian orang, sangat mudah untuk mendapatkan butiran-butiran putih ini.
Bahkan harga belinya pun sangat murah, hanya 5.000 rupiah. Lain kisahnya dengan
wanita paruh baya ini, ia mati – matian mengaduk pasir di kuali dengan api yang
sangat kecil. Hanya untuk mengumpulkan satu demi satu butiran putih itu yang
timbul dari pasir yang ia masak. Untuk dijualnya.
Halimatun
Sa’diah, wanita berusia 48 tahun ini. Sudah delapan tahun tidak lagi memasak
garam sendiri. Bangunan dan tanah untuk menanam garam sudah habis dibawa air
hitam 26 desember lalu. Sekarang ia bersama sang suami lebih memilih melakoni
pekerjaannya sebagai penjual garam. Garam yang ia jual adalah garam yang ia
beli langsung dari petani garam di tempat tinggalnya, Kajhu. Aceh Besar.
Wajah
yang teduh, tampak dari kelopak mata yang lelah. Walau tampak begitu lelah,
tetaplah senyuman yang menghiasi setiap ia berbicara. Sudah genap delapan tahun
ia melakoni pekerjaannya sebagai penjual garam, tepatnya pasca tsunami 2004
lalu.
Sedari
subuh buta, ia bersama suaminya sudah membawa garam kepasar peunayong. Banda
Aceh. Garam yang ia jual seharga 5.000 rupiah untuk satu plastiknya. Halimah
memilih duduk jauh dari suaminya, agar garamnya dapat habis terjual. Setiap
detik yag ia lewatkan untuk menjajakan garam, selalu ada doa, agar orang yang
lewat dapat menghabiskan sejumlah garamnya.
Hanya
satu dua orang yang singgah untuk membelinya. Maklum, butiran-butiran putih
yang menimbulkan rasa asin itu, tak menjadi makanan pokok untuk sehari-hari.
Hanya sebagai pelengkap bumbu yang memberi rasa gurih pada masakan.
Sebelum,
memilih untuk berjualan garam. Sudah berpuluh kali ia mencoba pekerjaan lain.
Tak tanggung-tanggung pekerjaan yang ia lakoni, rata-rata memutuhkan tenaga
yang cukup besar. Seperti tarik pukat, membuat garam, jualan ikan, mencari
tiram sampai mencari kepiting.
Perlu
di acungkan jempol untuk kehebatan ibu yang satu ini, ia berkorban untuk
membantu suaminya yang hanya tukang becak. Keikhlasan hatinya, direbut oleh
ombak besar yang menelan ke delapan buah hati dan suami tercintanya. “Ketika
tsunami, saya sedang berjualan boi (bolu) di Takengon. Kawan saya bilang,
penghasilannya lumayan. Jadi saya tidak melihat tsunami.” Tuturnya sambil
membenarkan letak kerudungnya.
Wanita,
berkelahiran Kajhu. Aceh besar ini, juga
sangat senang dengan pekerjaannya sebagai penjual garam. Walau sehari ia
bersama sang suami hanya dapat mengantongi 200.000 rupiah saja. Jika dua karung
garam yang ia bawa habis terjual semuanya. Keuntungan yang ia dapatkan dalam
setiap harinya, akan menjadi modal untuk hari esoknya lagi.
Kelihaiannya
dalam membuat garam pun, sudah tak perlu diragukan lagi. Ia bisa menerangkan
tahapan demi tahapan dari membuat garam. Namun, sayangnya ia tak memiliki modal
yang cukup untuk memproduksi garam sendiri. Sebelum tsunami datang, sudah ia
siapkan sepetak tanah untuk pengelolaan garam. Ia berharap, ini adalah modalnya
untuk berusaha, Tuhan berkata lain. Tsunami datang mengambil segala yang ia
miliki.
Garam
yang ia jual dipasar dengan kualitas tinggi pun, disambut manis oleh beberapa
pelanggan yang sudah terbilang menjadi langganan tetap ditempatnya. Beberapa
warung nasi, tempat bakso pun menjadi langganan ditempatnya.
Halimatun
Sa’diah. Lepas dari pekerjaannya sebagai penjual garam, ia juga gemar dalam hal
memasak, mengaji, bahkan ia juga mengikuti kegiatan kelompok pengajian ibu-ibu
shalawat di Kajhu, tempat tinggalnya.
“walaupun
hidup sehari-hari saya dan suami hanya dari hasil berjualan garam. Namun, tak
lupa selalu mengaji dan ingat Allah”Tuturnya mengakhiri pembicaraan. [Dara
Hersavira]
1 komentar:
Adek sudah jualan garam ya.
Posting Komentar